- A. Gambaran Umum Permasalahan Pendidikan Indonesia
Pendidikan merupakan suatu diskursus
yang terpenting dan menempati posisis sentral dalam bidang kajian sosiologi.
Dalam sosiologi pendidikan inilah kemudian dibahas berbagai masalah tentang
pendidikan dengan tujuan mengendalikan proses pendidikan untuk
mengembangkan kepribadian individu agar lebih baik (Nasution, 1983). Pendidikan
bukan hanya terpusat pada instansi pendidikan saja melainkan juga pada tri
pusat pendidikan yaitu pendidikan dalam keluarga, pendidikan dilembaga
pendidikan formal (sekolah dan kampus/universitas) serta pendidikan
dimasayarakat.[1] Namun dalam makalah ini kami lebih
mengutamakan pengkajian lembaga pendidikan formal. Hal ini dimaksudkan agar
tidak terjadi pelebaran pokok pembahasan, selain itu pada umumnya lembaga
pendidikan formal memiliki peran terbesar dalam pembentukan karakter pelajar
hal ini disebabkan oleh banyaknya waktu yang dihabiskan pelajar dalam kehidupan
sehari-harinya.
Kenakalan remaja (jevenile
delinquency) bukanlah murni disebabkan oleh kesalahan pelajar atau
siswa, melainkan kenakalan remaja muncul dari permasalah multidimensional dalam
diri pendidikan itu sendiri. Asumsi dasarnya adalah individu merupakan
representasi dari masyarakat, sebagaimana konsep fakta sosial Durkheim.
Fakta sosial adalah seluruh cara
bertindak, baku maupun tidak, yang dapat berlaku pada diri individu sebagaimana
sebuah paksaan ekternal; atau bisa dikatakan fakta sosial adalah keseluruhan
cara bertindak yang umum dipakai suatu masyarakat, dan pada saat yang sama
keberadaannya terlepas dari manifestasi-manifestasi individu” (Durkheim,
1895/1982:13).[2]
Dari pernyataan Durkheim itu dapat
kita tarik kesimpulan bahwa, tejadinya menyimpangan kepribadian pelajar
dari norma-norma masyarakat tersebut bersumber dari pengaruh eksternal yang
terjadi diluar individu ( pranata, institusi, sosial dan lain sebagainya).
Sehingga dapat dikatakan penyimpangan dalam diri pelajar ataupun generasi
merupakan hanyalah akibat dan bukanlah pokok penyebab atau persoalan. Sehingga
dalam menganalisis pendididkan diperlukan kesatuan global dari sistem-sistem
dalam masyarakat.
Terdapat pelbagai penyebab munculnya
masalah pendidikan yang mendasar didalam pendidikan indonesia antara lain:
- 1. Minimnya Sarana dan Prasarana Penunjang Pendidikan
Sampai saat ini 88,8 persen sekolah
di indonesia mulai SD hingga SMA/SMK, belum melewati mutu standar pelayanan
minimal.[3]
Pada pendidikan dasar hingga kini layanan pendidikan mulai dari guru, bangunan
sekolah, fasilitas perpustakaan dan laboratorium, buku-buku pelajaran dan
pengayaan, serta buku referensi masih minim. Pada jenjang Sekolah Dasar (SD)
baru 3,29% dari 146.904 yang masuk kategori sekolah standar nasional, 51,71%
katekori standar minimal dan 44,84% dibawah standar pendidikan minimal. pada
jenjang SMP 28,41% dari 34.185, 44,45% berstandar minimal dan 26% tidak
memenuhi standar pelayanan minimal. Hal tersebut membuktikan bahwa pendidikan
di indonesia tidak terpenuhi sarana prasarananya.
Dari data diatas menggabarkan
bagaimana lembaga pendidikan kurang memfasilitasi bakat dan minat siswa dalam
mengembangkan diri. Akibat tidak tersedianya fasilitas tersebut para pelajar
mengalokasikan kelebihan energinya tersebut untuk hal-hal yang negatif,
misalnya tawuran antar pelajar, kelompok-kelompok kriminal yang umumnya
meresahkan masyarakat. Setidaknya ada dua dampak dari kurangnya sarana dan
prasaranan pendidikan yaitu:
- a. Rendahnya Mutu Output Pendidikan
Kurangnya sarana pendidikan ini
berdampak pada rendahnya output pendidikan itu sendiri, sebab di era
globalisasi ini diperlukan transormasi pendidikan teknologi yang membutuhkan
sarana dan prasaranan yang sangat kompleks agar dapat bersaing dengan pasar
global. Minimnya sarana ini menyebabkan generasi muda hanya belajar secara
teoretis tanpa wujud yang praksis sehingga pelajar hanya belajar dalam
angan-angan yang keluar dari realitas yang sesungguhnya.
Ironisnya pemerintah kurang
mendukung bahkan cenderung membiarkan tercukupinya fasilitas pendidikan.
Kerusakan sekolah, laboratorium, dan ketiadaan fasilitas penunjang pendidikan
lainnya menyebabkan gagalnya sosialisasi pendidikan berbasis teknologi ini.
Kerusakan sekolah merupakan masalah klasik yang cenderung dibiarkan
berlarut-larut dan celakanya lagi hal ini hanya sekedar menjadi permainan
politik disaat pemilu saja.
- b. Kenakalan Remaja dan Perilaku yang Menyimpang
Secara psikologis pelajar adalah
masa transisi dari remaja menuju kedewasaan diamana didalamnya terjadi
gejolak-gejolak batin dan luapan ekspresi kretivitas yang sagat tinggi. Jika
lupan-luapan dan pencarian jati diri ini tidak terpenuhi maka mereka akan
cenderung mengekspresikanya dalam bentuk kekecewaan-kekecawaan dalam bentuk
negatif. Sarana pendidikan yang dimaksud disini, bukan hanya laboratorium,
perpustakaan, ataupun peralatan edukatif saja, tetapi juga sarana-sarana
olahraga ataupun kesenian untuk mengekspresikan diri mereka.
Kehidupan remaja diera modern ini
tentulah berbeda dengan kehidupan pada generasi sebelumnya, pelajar saat
ini membutuhkan ruang gerak dalam pengembangaan kematangan emosi misalanya saja
grup band, sepak bola, basket, otimotif dan sebagainya. Jika hal ini tidak
dipenuhi ataupun dihambat maka akan cenderung membuat perkumpulan-perkumpulaan
yang cenderung menyalahi norma.
Di indonesia sendiri masih banyak
sekolah ataupun kampus yang tidak memiliki sarana penyaluran emosi ini, di UIN
Sunan Kalijaga misalnya hanya terdapat tenis indor, lapangan futsal itupun
tersedia digunakan seara inklusif untuk ornag-orang tertentu saja.
- 2. Kontradiksi-Kontradiksi dan Kakunya Kurikulum Pendidikan
Dalam rangka mengatur dan
mengendalikan pendidikan yang sangat kompleks dibutuhkan suatu batasan dan
aturan dalam mengawasi mutu pendidikan suatu negara. Indonesia sebagai negara
yang sedang berkembang membutuhkan data yang tepat mengenai tingkat mutu
pendidikan sebagai alat untuk merancang arah pembangunan bangsa. Sehingga
pemerintah berusaha meningkatkan mutu pendidikan dengan menerapkan
standar-standar pendidikan agar dapat mempermudah negara dalam melakukan pembangunan.
Kurikulum pendidikan merupakan salah
satu realisasi penjamin berjalannya mutu pendidikan. kurikulum merupakan
program dan isi dari suatu sistem pendidikan yang berupaya melaksanakan proses
akumulasi pengetahuan antar generasi dalam masyarakat.[4]
Maksud baik pemerintah ini ternyata kurang sesuai dengan kultur dan
perkembangan zaman, dikarenakan kurikulum yang sekarang dijalankan masih
berbasis pada langkah teoretis dan cenderung mengesampingkan nilai praksis
pendidikan. Kurikulum yang sekarang digunakan dalam proses belajar tidak jauh
berbeda dengan zaman penjajahan belanda, dimana proses pendidikannya hanyalah
dalam langkah teoretis dan cenderung mencetak tenaga kerja.
Standar pendidikan berupa Ujian
Nasional (UN) dengan maksud menyamaratakan nilai kemajuan dari sabang sampai
merauke ini justru menimbulkan ketidak adilan baru, di daerah timur Indonesia
yang sangat jauh dari standar minimal itu dipaksa mengikuti standar jakarta
ataupun jawa yang notabene lebih memiliki sarana pendidikan. Belum lagi
kecurangan-kecurangan pendidikan dalam ujian nasional. Penentuan kelulusan yang
hanya ditentukan waktu kurang dari satu minggu mendapat banyak kecaman dari
masyarakat, dengan alasan pemaksaan nilai tersebut bukanlah ukuran kemajuan
pendidikan justru menimbulkan tekanan batin dan kecurangan-kecurangan dalam
pendidikan.
Kurikulum pendidikan indonesia
kurang mengajarkan sikap kritis dan kreatif dan cenderung bersifat mendoktrin
pelajar. Selain itu kurikulumnya lebih bersifat mencetak pekerja daripada
menumbuhkan pembuat pekerjaan (interprener). Hal itu dibuktikan dengan superioritas
guru terhadap pelajar, sehingga proses belajar bukannya transformasi melainkan
doktrinasi.
Dampak yang paling nyata dari rancun
dan kakunya kurikulum pendidikan ini adalah pengangguran terdidik yang semakin
meningkat. Menurut data ??. hal ini mengindikasikan bukanlah transformasi ilmu
melainkan doktrianasi ilmu
- 3. Pendeskreditan Moralitas
Pendidikan moralitas merupakan suatu
hal yang sangat pendting dalam mendukung pembanguanan suatu bangsa sebagai alat
untuk mengimbangi globalitas dan degradasi norma dalam masyarakat. Bahkan
Durkheim mengkaji moralitas sebagai kajian pokoknya. Moralitas tentunya
tidak akan hilang dari masyarakat melainkan moralitas hanya berubah dari suatu
bentuk kebentuk lainnya, namun jika bentuk tersebut kacau maka akan cenderung
menghambat perkembangan masyarakat.
Dalam perjalanannya banyak kasus
moralitas dalam pendidikan indonesia, kasus kekerasan iini tidak hanya
dilakukan sesama murid ironisnya guru juga melakukan kekerasan secara fisik
kepada murid sebaimana diberitakan dimedia massa. Tentunya kekerasan ini
mengganggu perkembangan secara psikologis pelajar dan mendorong legalisasi
kriminalitas dan kekerasan kepada siswa yang. Misalnya saja kasus IPDN, dengan
alasan meningkatkan disiplin senior diberi kewenangan untuk menyiksa juniornya
yang telah menyebabkan banyak hilangnya nyawa seperti klif muntu. Sehingga
pendidikan moral, baik menggunakan instrumen agama ataupun sosialisasi
moralitas seperti menanamkan sifat disiplin, jujur, kreatif, dan sebagainya
secara partisipatif sangat diperlukan.
- 4. Liberalisasi Pendidikan
Jika kita melihat sejarah
kebelakang, sebenarnya liberalisme merupakan tahap perkembangan lanjut dari
penjajahan negara-negara maju kepada negara dunia ketiga. Dalam sejarah
domonasi eksploitasi ini dibagi dalam tiga fase. Fase pertama disebut
dengan masa kolonialisme yang ditandai dengan ekspansi secara fisik kapitalisme
di eropa untuk memastikan perolehan bahan baku. Fase kedua disebut masa
neokolonialisme dimana penjajah tidak lagi mencengkram secara fisik melainkan
secara substantif melalui teori dan proses perubahan sosial, yaitu dengan
mendekte atau mengintervensi kebijakan ekonomi, sosial dan politik yang
cenderung merugikan negara bekas koloni. Fase yang ketiga adalah masa
liberalisasi yaitu dengan memberlakukan perdagangan bebas dalam lingkup global
tanpa melihat kondisi negara berkembang yang masih buta teknologi, sehingga
liberalisasi cenderung menguntungkan negara-negara maju. Perkawinan antara
globalisasi dan liberalisasi ini menimbulkan monopoli-monopoli perusahan besar
TNC (Trans Nasional Coorporation) TMC (Trans Multinational Coorporations).
Ironisnya bukan hanya ekonomi saja
yang mengalami liberalisasi, kesehatan bahkan pendidikan tidak luput dari
liberalisasi yang menjurus pada komersialisasi pendidikan. Dengan landasan
mengikuti “Konsesus Washington” pemerintah membiarkan dan melepas tanggung
jawab sebagai penjamin hak memperoleh pendidikan sebagaimana yang diamanatkan
oleh UUD 1945.
Bentuk pelepasan tanggung jawab ini
dapat dilihat dalam peraturan presiden 1ndonesia no 77 tahun 2007, tentang
Daftar Bidang Usaha yang Tertup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan
Persyaratan Dibidang Penanaman Modal atau biasa disebut BHP pendidikan (Badan
Hukum Pendidikan). Dalam peraturan disebutkan bahwa pendidikan dasar, menengah,
pensisikan tinggi dan pendidikan nornformal dapat dimasuki oleh modal asing
dengan batasan kepemilikan modal maksimal 49 persen. Ini indikasi jelas bahwa
telah terjadi komersialisasi pendidikan sebagai komunitas dagang atas nama
liberalisasi.[5]
Liberalisasi pendidikan tanpa
melihat kondisi objektif masyarakat indonesia yang sebagaian besar tidak miskin
ini, justru menjerumuskan rakyat kepada kebodohan. Pendidikan tak ubahnya
menjadi sarana mobilisasi dalam merebutkan kekayaan dan mempertahankan status
quo bagi orang-orang yang kaya. Akibat liberalisasi pendidikan ini tentunya
rakyat miskin tidak mampu membiyayai pendidikan, sehingga dapat dikatan liberalisasi
dan sahamisasi pendidikan ini adalah suatu bentuk kebijakan pembodohan massal
terhadap rakyat. Lalu mau dikemanakan masyarakat miskin jika pendidikan semakin
mahal?.
- B. Wacana Reformasi Pendidikan
Reformasi pendidikan merupakan upaya
dalam memperbaiki dan mengembalikan fungsi pendidikan sebagai mestinya. Jika
pendidikan tidak segara direformasikan maka akan memperburuk kualitas
pendidikan dan akhirnya dapat menyebabkan terbengkalainya pembangunan. Untuk
mereformasi pendidikan diperlukan suatu sistem yang kritis konstruktif,
terbuka, dan emansipatif. Pendidikan kritis merupakan solusi terbaik
dalam memperbaiki pendidikan, lalu kemudian timbul pertanyaan kenapa harus
pendidikan kritis! karena pendidikan kritis bertujuan untuk mengaitkan antara
teori dan praksis serta memanusiakan manusia.
Dalam hal ini tentunya kita tidak
boleh terjebak pada idiologi marxisme, dalam mengkonstruksi pendidikan kritis
kita harus membebaskan diri dari segala kepentingan, dan lebih mengutamakan
kesejahteraan bersama. Ada beberapa hal yang dapat kita lakukan dalam
memperbaiki anomali-anomali pendidikan ini antaralain:
- 1. Meningkatkan Sarana dan Prasarana Pendidikan
Dalam rangka meningkatkan output
pendidikan tentunya kita harus menaikan cost (harga), menaikkan harga disini
maksudnya adalah meningkatkan sarana dan prasarana penunjang pendidikan. Adapun
sarana tersebut meliputi sarana fisik dan non fisik.
- Sarana fisik
Pemenuhan sarana fisik sekolahan ini
meliputi pembanguan gedung sekolahan, laboratorium, perpustakaan, sarana-sarana
olah raga, dan fsilitas pendukung lainnya. Dalam hal ini tentunya pemerintah
memegang tanggung jawab yang besar dalam pemenuhan ini, karena pemerintah
berkepentingan dalam memajukan pembangunan nasiaonal. Jika sarana belajar ini
telah terpenuhi tentunya akan semakin memudahkan transformasi ilmu pengetahuan
dan teknologi.
- Sarana non fisik
Sarana non fisik ini diibaratkan
soft ware dalam komputer, jika soft ware ini dapat mengoprasikan perangkat
komputer dengan baik maka pekerjaan akan cepat selesai. Begitu juga dalam
pendidikan jika sistem dan pengajarnya bermutu maka akan mempercepat
pembangunan nasional. Hal ini dapat dilakukan dengan cara:
- Peningkatan kualitas guru
Kualitas guru harus ditekankan demi
berjalannya pendidikan itu sendiri, tugas guru adalah merangsang kreativitas
dan memberi pengajaran secara fleksibel, artinya berkedudukan seperti siswa
yang belajar tidak ada patron client. Peningkatan mutu ini bukan hanya pada
intelektual guru saja, melainkan juga mengembangkan psikologis guru itu sendiri
misalnya dengan memahami karakteristik siswa, psikologi perkembangan dan
sebagainya.
Dengan adanya peningkatan ini
tentunnya akan berdampak pada membaiknya output pendidikan. Dikarenakan guru
dapat menempatkan dirinya sebagaimana mestinya dan bersifat fleksibel.
Kenakalan remaja biasanya terjadi justru karena prilaku guru itu sendiri
misalnya melakukan hukuman fisik kepada siswa ataupun penekanan psikologis.
- Pembentukan lembaga studi mandiri
Pembentukan lembaga studi mandiri
ini berfungsi sebagai wadah pengembangan kpribadian siswa. Di kampus UIN
misalnya jurun sosiologi belum memiliki lembaga penelitian dan lembaga diskusi
mahasiswa, adapun lembaga diskusi resminya telah lama mati karena tidak adanya
regenerasi yang baik. Jika lembaga studi ini dapat dibentuk tentunnya akan
memperbaiki kualitas fakultas maupun menambah pengalaman mahasiswa.
- 2. Reformasi Kurikulum Pendidikan
Kurikulum merupakan jiwa dari
lembaga pendidikan, jika dalam kurikulum terdapat banyak penyimpangan dan kontradiksi-kontradiksi
tentunya akan merusak citra pendidikan itu sendiri. Pengembangan kurikulum
diharuskan sesuai dengan kultur masyarakat artinya tidak begitu saja menelan
mentah-mentah teori pendidikan barat kedalam pendidikan indonesia. Negeri
jepang misalnya walaupun mempelajari bahan ajaran Barat namun mereka
menyesuaikan dengan kultur dalam masyarakat.
Dalam kurikulum ini harusnya
mengutamakan keadilan dan kesetaraan, tidak ada pengelompokan berdasarkan suku,
agama, maupun golongan-golongan. Pendidikan merupakan hak dasar bagi
masyarakat sebgaimana diamanatkan oleh UUD 1945, jadi dalam masalah biaya
tentunya negara mempunyai kewajiban dalam pendanaan pendidikan. Anggaran
Perencanaan Belanja Negara 20% untuk pendidikan harus diawasi dan direalisasikan
perwujudannya sehingga bukan hanya menjadi wacana politik saja.
- Mewujudkan pendidikan inklusif dan anti diskriminasi
Pendidikan yang saat ini masih
terlibat dengan berbagai diskriminasi dan ekskluisasi terhadap pelajar.
Sehingga kadangkala masyarakat memandang bahwa pendidikan hanyalah sebagai alat
untuk mobilitas sosial dan mempertahankan satatus quo orang-orang kaya.
Anak-anak pemilik modal lebih mendapatkan keistimewaan fasilitas dari pada
masyarakat miskin sehingga timbul pesimisme terhadap netralitas pendidikan.
Pendidikan inklusif didiasarkan pada
beberapa prinsip dasar antara lain:
Pertama, setiap orang secara inheren
punya hak terhadap pendidikan atas dasar kesamaan kesempatan sebagaimana yang
diamanatkan UU, jadi tidakada alasan sekolah untuk menolak pelajar yang miskin.
Kedua, tidak boleh ada siswa yang tereksklusi dan terdiskriminasi dalam
pendidikan dengan berbagai alasan apapun, baik dari ras, warna kulit, gender,
bahasa, agama, politik, difabelitas, dan lain sebagainya. Ketiga, semua anak pada
dasarnya dapat belajar dan mendapat manfaat dari pendidikan, sehingga
pendidikan bertugas mengembangkan potensi otak anak. Keempat, sarana dan
prasarana disediakan pemerintah dari pajak. Kelima, pandangan dan opini peserta
didik harus didengarkan dan diperhatikan (demokrasi pendidikan). Keenam,
perbadaan individu merupakan suatu anugrah, sehingga guru harus mencari
pendekatan karakteristik dan kompetensi peserta didik. Ketujuh, pendidikan
bukanlah asimilasi tetapi apresiasi perbedaan, adupun pelaksanaannya dilakukan
secara kontinyu bukannya instan.
Selain itu pendidikan juga harus
lebih mengutamakan langkah praksis dengan mencetak generasi muda yang
mandiri dan dapat mengolah sumberdaya alam serta memproduksi lapangan kerja
bukan hanya mencetak mental pekerja. Kesadaran sosial generasi muda juga perlu
ditingkatkan sebagai wujud pengabdian pendidikan terhadap masyarakat.
Mewujudkan pendidikan yang memanusiakan manusia bukanlah mimpi, jika dilakukan
secara kontinyu dan intensif.
BAB
III
KESIMPULAN
Tejadinya menyimpangan
kepribadian pelajar dari norma-norma masyarakat bukanlah murni disebabkan oleh
kesalahan pelajar atau siswa, melainkan penyimpangan ini muncul dari
permasalah multidimensional dalam diri pendidikan itu sendiri. Sehingga dapat
dikatakan penyimpangan dalam diri pelajar ataupun generasi muda, hanyalah
sebagian dampak kecil dari berbagai masalah dalam dunia pendidikan dan bukanlah
pokok penyebab atau persoalan. Sehingga dalam menganalisis pendididkan
diperlukan kesatuan global dari sistem-sistem dalam masyarakat.
Masalah pendidikan di Indonesia
bukan saja karena kualitas intelektualitas yang masih rendah, tetapi juga
diperparah dengan degradasi moral generasi muda yang masih belum bisa menyaring
perkembangan globalisasi. Tawuran antar pelajar, free sex, narkoba, dan
tindakan asusila maupun pelanggaran hukum banyak mewarnai pendidikan Indonesia,
bahkan hal ini dapat kita saksikan baik secara langsung maupun dimedia massa.
Namun semua itu bukanlah alasan bagi kita untuk cenderung menyalahkan pendidikan,
karena kita sendiri memiliki tanggung jawab yang besar dalam proses pendidikan.
Dalam memperbaiki maslah pendidikan
itu dapat dilakukan dengan cara mereformasi kurikulum yang lebih merakyat,
menyediakan sarana, prasarana, menjalankan pendidikan antri diskriminasi, dan
sebaginya. Selain itu pendidikan juga diharapkan melaksanakan tugasnya yaitu,
memperjuankan masayarakat dari penindasan dengan menanamkan sikap sadar sosial
dan membangun mentalitas kemandirian anak didik.
- A. Gambaran Umum Permasalahan Pendidikan Indonesia
Pendidikan merupakan suatu diskursus
yang terpenting dan menempati posisis sentral dalam bidang kajian sosiologi.
Dalam sosiologi pendidikan inilah kemudian dibahas berbagai masalah tentang
pendidikan dengan tujuan mengendalikan proses pendidikan untuk
mengembangkan kepribadian individu agar lebih baik (Nasution, 1983). Pendidikan
bukan hanya terpusat pada instansi pendidikan saja melainkan juga pada tri
pusat pendidikan yaitu pendidikan dalam keluarga, pendidikan dilembaga
pendidikan formal (sekolah dan kampus/universitas) serta pendidikan
dimasayarakat.[1] Namun dalam makalah ini kami lebih
mengutamakan pengkajian lembaga pendidikan formal. Hal ini dimaksudkan agar
tidak terjadi pelebaran pokok pembahasan, selain itu pada umumnya lembaga
pendidikan formal memiliki peran terbesar dalam pembentukan karakter pelajar
hal ini disebabkan oleh banyaknya waktu yang dihabiskan pelajar dalam kehidupan
sehari-harinya.
Kenakalan remaja (jevenile
delinquency) bukanlah murni disebabkan oleh kesalahan pelajar atau
siswa, melainkan kenakalan remaja muncul dari permasalah multidimensional dalam
diri pendidikan itu sendiri. Asumsi dasarnya adalah individu merupakan
representasi dari masyarakat, sebagaimana konsep fakta sosial Durkheim.
Fakta sosial adalah seluruh cara
bertindak, baku maupun tidak, yang dapat berlaku pada diri individu sebagaimana
sebuah paksaan ekternal; atau bisa dikatakan fakta sosial adalah keseluruhan
cara bertindak yang umum dipakai suatu masyarakat, dan pada saat yang sama
keberadaannya terlepas dari manifestasi-manifestasi individu” (Durkheim,
1895/1982:13).[2]
Dari pernyataan Durkheim itu dapat
kita tarik kesimpulan bahwa, tejadinya menyimpangan kepribadian pelajar
dari norma-norma masyarakat tersebut bersumber dari pengaruh eksternal yang
terjadi diluar individu ( pranata, institusi, sosial dan lain sebagainya).
Sehingga dapat dikatakan penyimpangan dalam diri pelajar ataupun generasi
merupakan hanyalah akibat dan bukanlah pokok penyebab atau persoalan. Sehingga
dalam menganalisis pendididkan diperlukan kesatuan global dari sistem-sistem
dalam masyarakat.
Terdapat pelbagai penyebab munculnya
masalah pendidikan yang mendasar didalam pendidikan indonesia antara lain:
- 1. Minimnya Sarana dan Prasarana Penunjang Pendidikan
Sampai saat ini 88,8 persen sekolah
di indonesia mulai SD hingga SMA/SMK, belum melewati mutu standar pelayanan
minimal.[3]
Pada pendidikan dasar hingga kini layanan pendidikan mulai dari guru, bangunan
sekolah, fasilitas perpustakaan dan laboratorium, buku-buku pelajaran dan
pengayaan, serta buku referensi masih minim. Pada jenjang Sekolah Dasar (SD)
baru 3,29% dari 146.904 yang masuk kategori sekolah standar nasional, 51,71%
katekori standar minimal dan 44,84% dibawah standar pendidikan minimal. pada
jenjang SMP 28,41% dari 34.185, 44,45% berstandar minimal dan 26% tidak
memenuhi standar pelayanan minimal. Hal tersebut membuktikan bahwa pendidikan
di indonesia tidak terpenuhi sarana prasarananya.
Dari data diatas menggabarkan
bagaimana lembaga pendidikan kurang memfasilitasi bakat dan minat siswa dalam
mengembangkan diri. Akibat tidak tersedianya fasilitas tersebut para pelajar
mengalokasikan kelebihan energinya tersebut untuk hal-hal yang negatif,
misalnya tawuran antar pelajar, kelompok-kelompok kriminal yang umumnya
meresahkan masyarakat. Setidaknya ada dua dampak dari kurangnya sarana dan
prasaranan pendidikan yaitu:
- a. Rendahnya Mutu Output Pendidikan
Kurangnya sarana pendidikan ini
berdampak pada rendahnya output pendidikan itu sendiri, sebab di era
globalisasi ini diperlukan transormasi pendidikan teknologi yang membutuhkan
sarana dan prasaranan yang sangat kompleks agar dapat bersaing dengan pasar
global. Minimnya sarana ini menyebabkan generasi muda hanya belajar secara
teoretis tanpa wujud yang praksis sehingga pelajar hanya belajar dalam
angan-angan yang keluar dari realitas yang sesungguhnya.
Ironisnya pemerintah kurang
mendukung bahkan cenderung membiarkan tercukupinya fasilitas pendidikan.
Kerusakan sekolah, laboratorium, dan ketiadaan fasilitas penunjang pendidikan
lainnya menyebabkan gagalnya sosialisasi pendidikan berbasis teknologi ini.
Kerusakan sekolah merupakan masalah klasik yang cenderung dibiarkan
berlarut-larut dan celakanya lagi hal ini hanya sekedar menjadi permainan
politik disaat pemilu saja.
- b. Kenakalan Remaja dan Perilaku yang Menyimpang
Secara psikologis pelajar adalah
masa transisi dari remaja menuju kedewasaan diamana didalamnya terjadi
gejolak-gejolak batin dan luapan ekspresi kretivitas yang sagat tinggi. Jika
lupan-luapan dan pencarian jati diri ini tidak terpenuhi maka mereka akan
cenderung mengekspresikanya dalam bentuk kekecewaan-kekecawaan dalam bentuk
negatif. Sarana pendidikan yang dimaksud disini, bukan hanya laboratorium,
perpustakaan, ataupun peralatan edukatif saja, tetapi juga sarana-sarana
olahraga ataupun kesenian untuk mengekspresikan diri mereka.
Kehidupan remaja diera modern ini
tentulah berbeda dengan kehidupan pada generasi sebelumnya, pelajar saat
ini membutuhkan ruang gerak dalam pengembangaan kematangan emosi misalanya saja
grup band, sepak bola, basket, otimotif dan sebagainya. Jika hal ini tidak
dipenuhi ataupun dihambat maka akan cenderung membuat perkumpulan-perkumpulaan
yang cenderung menyalahi norma.
Di indonesia sendiri masih banyak
sekolah ataupun kampus yang tidak memiliki sarana penyaluran emosi ini, di UIN
Sunan Kalijaga misalnya hanya terdapat tenis indor, lapangan futsal itupun
tersedia digunakan seara inklusif untuk ornag-orang tertentu saja.
- 2. Kontradiksi-Kontradiksi dan Kakunya Kurikulum Pendidikan
Dalam rangka mengatur dan
mengendalikan pendidikan yang sangat kompleks dibutuhkan suatu batasan dan
aturan dalam mengawasi mutu pendidikan suatu negara. Indonesia sebagai negara
yang sedang berkembang membutuhkan data yang tepat mengenai tingkat mutu
pendidikan sebagai alat untuk merancang arah pembangunan bangsa. Sehingga
pemerintah berusaha meningkatkan mutu pendidikan dengan menerapkan
standar-standar pendidikan agar dapat mempermudah negara dalam melakukan pembangunan.
Kurikulum pendidikan merupakan salah
satu realisasi penjamin berjalannya mutu pendidikan. kurikulum merupakan
program dan isi dari suatu sistem pendidikan yang berupaya melaksanakan proses
akumulasi pengetahuan antar generasi dalam masyarakat.[4]
Maksud baik pemerintah ini ternyata kurang sesuai dengan kultur dan
perkembangan zaman, dikarenakan kurikulum yang sekarang dijalankan masih
berbasis pada langkah teoretis dan cenderung mengesampingkan nilai praksis
pendidikan. Kurikulum yang sekarang digunakan dalam proses belajar tidak jauh
berbeda dengan zaman penjajahan belanda, dimana proses pendidikannya hanyalah
dalam langkah teoretis dan cenderung mencetak tenaga kerja.
Standar pendidikan berupa Ujian
Nasional (UN) dengan maksud menyamaratakan nilai kemajuan dari sabang sampai
merauke ini justru menimbulkan ketidak adilan baru, di daerah timur Indonesia
yang sangat jauh dari standar minimal itu dipaksa mengikuti standar jakarta
ataupun jawa yang notabene lebih memiliki sarana pendidikan. Belum lagi
kecurangan-kecurangan pendidikan dalam ujian nasional. Penentuan kelulusan yang
hanya ditentukan waktu kurang dari satu minggu mendapat banyak kecaman dari
masyarakat, dengan alasan pemaksaan nilai tersebut bukanlah ukuran kemajuan
pendidikan justru menimbulkan tekanan batin dan kecurangan-kecurangan dalam
pendidikan.
Kurikulum pendidikan indonesia
kurang mengajarkan sikap kritis dan kreatif dan cenderung bersifat mendoktrin
pelajar. Selain itu kurikulumnya lebih bersifat mencetak pekerja daripada
menumbuhkan pembuat pekerjaan (interprener). Hal itu dibuktikan dengan superioritas
guru terhadap pelajar, sehingga proses belajar bukannya transformasi melainkan
doktrinasi.
Dampak yang paling nyata dari rancun
dan kakunya kurikulum pendidikan ini adalah pengangguran terdidik yang semakin
meningkat. Menurut data ??. hal ini mengindikasikan bukanlah transformasi ilmu
melainkan doktrianasi ilmu
- 3. Pendeskreditan Moralitas
Pendidikan moralitas merupakan suatu
hal yang sangat pendting dalam mendukung pembanguanan suatu bangsa sebagai alat
untuk mengimbangi globalitas dan degradasi norma dalam masyarakat. Bahkan
Durkheim mengkaji moralitas sebagai kajian pokoknya. Moralitas tentunya
tidak akan hilang dari masyarakat melainkan moralitas hanya berubah dari suatu
bentuk kebentuk lainnya, namun jika bentuk tersebut kacau maka akan cenderung
menghambat perkembangan masyarakat.
Dalam perjalanannya banyak kasus
moralitas dalam pendidikan indonesia, kasus kekerasan iini tidak hanya
dilakukan sesama murid ironisnya guru juga melakukan kekerasan secara fisik
kepada murid sebaimana diberitakan dimedia massa. Tentunya kekerasan ini
mengganggu perkembangan secara psikologis pelajar dan mendorong legalisasi
kriminalitas dan kekerasan kepada siswa yang. Misalnya saja kasus IPDN, dengan
alasan meningkatkan disiplin senior diberi kewenangan untuk menyiksa juniornya
yang telah menyebabkan banyak hilangnya nyawa seperti klif muntu. Sehingga
pendidikan moral, baik menggunakan instrumen agama ataupun sosialisasi
moralitas seperti menanamkan sifat disiplin, jujur, kreatif, dan sebagainya
secara partisipatif sangat diperlukan.
- 4. Liberalisasi Pendidikan
Jika kita melihat sejarah
kebelakang, sebenarnya liberalisme merupakan tahap perkembangan lanjut dari
penjajahan negara-negara maju kepada negara dunia ketiga. Dalam sejarah
domonasi eksploitasi ini dibagi dalam tiga fase. Fase pertama disebut
dengan masa kolonialisme yang ditandai dengan ekspansi secara fisik kapitalisme
di eropa untuk memastikan perolehan bahan baku. Fase kedua disebut masa
neokolonialisme dimana penjajah tidak lagi mencengkram secara fisik melainkan
secara substantif melalui teori dan proses perubahan sosial, yaitu dengan
mendekte atau mengintervensi kebijakan ekonomi, sosial dan politik yang
cenderung merugikan negara bekas koloni. Fase yang ketiga adalah masa
liberalisasi yaitu dengan memberlakukan perdagangan bebas dalam lingkup global
tanpa melihat kondisi negara berkembang yang masih buta teknologi, sehingga
liberalisasi cenderung menguntungkan negara-negara maju. Perkawinan antara
globalisasi dan liberalisasi ini menimbulkan monopoli-monopoli perusahan besar
TNC (Trans Nasional Coorporation) TMC (Trans Multinational Coorporations).
Ironisnya bukan hanya ekonomi saja
yang mengalami liberalisasi, kesehatan bahkan pendidikan tidak luput dari
liberalisasi yang menjurus pada komersialisasi pendidikan. Dengan landasan
mengikuti “Konsesus Washington” pemerintah membiarkan dan melepas tanggung
jawab sebagai penjamin hak memperoleh pendidikan sebagaimana yang diamanatkan
oleh UUD 1945.
Bentuk pelepasan tanggung jawab ini
dapat dilihat dalam peraturan presiden 1ndonesia no 77 tahun 2007, tentang
Daftar Bidang Usaha yang Tertup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan
Persyaratan Dibidang Penanaman Modal atau biasa disebut BHP pendidikan (Badan
Hukum Pendidikan). Dalam peraturan disebutkan bahwa pendidikan dasar, menengah,
pensisikan tinggi dan pendidikan nornformal dapat dimasuki oleh modal asing
dengan batasan kepemilikan modal maksimal 49 persen. Ini indikasi jelas bahwa
telah terjadi komersialisasi pendidikan sebagai komunitas dagang atas nama
liberalisasi.[5]
Liberalisasi pendidikan tanpa
melihat kondisi objektif masyarakat indonesia yang sebagaian besar tidak miskin
ini, justru menjerumuskan rakyat kepada kebodohan. Pendidikan tak ubahnya
menjadi sarana mobilisasi dalam merebutkan kekayaan dan mempertahankan status
quo bagi orang-orang yang kaya. Akibat liberalisasi pendidikan ini tentunya
rakyat miskin tidak mampu membiyayai pendidikan, sehingga dapat dikatan liberalisasi
dan sahamisasi pendidikan ini adalah suatu bentuk kebijakan pembodohan massal
terhadap rakyat. Lalu mau dikemanakan masyarakat miskin jika pendidikan semakin
mahal?.
- B. Wacana Reformasi Pendidikan
Reformasi pendidikan merupakan upaya
dalam memperbaiki dan mengembalikan fungsi pendidikan sebagai mestinya. Jika
pendidikan tidak segara direformasikan maka akan memperburuk kualitas
pendidikan dan akhirnya dapat menyebabkan terbengkalainya pembangunan. Untuk
mereformasi pendidikan diperlukan suatu sistem yang kritis konstruktif,
terbuka, dan emansipatif. Pendidikan kritis merupakan solusi terbaik
dalam memperbaiki pendidikan, lalu kemudian timbul pertanyaan kenapa harus
pendidikan kritis! karena pendidikan kritis bertujuan untuk mengaitkan antara
teori dan praksis serta memanusiakan manusia.
Dalam hal ini tentunya kita tidak
boleh terjebak pada idiologi marxisme, dalam mengkonstruksi pendidikan kritis
kita harus membebaskan diri dari segala kepentingan, dan lebih mengutamakan
kesejahteraan bersama. Ada beberapa hal yang dapat kita lakukan dalam
memperbaiki anomali-anomali pendidikan ini antaralain:
- 1. Meningkatkan Sarana dan Prasarana Pendidikan
Dalam rangka meningkatkan output
pendidikan tentunya kita harus menaikan cost (harga), menaikkan harga disini
maksudnya adalah meningkatkan sarana dan prasarana penunjang pendidikan. Adapun
sarana tersebut meliputi sarana fisik dan non fisik.
- Sarana fisik
Pemenuhan sarana fisik sekolahan ini
meliputi pembanguan gedung sekolahan, laboratorium, perpustakaan, sarana-sarana
olah raga, dan fsilitas pendukung lainnya. Dalam hal ini tentunya pemerintah
memegang tanggung jawab yang besar dalam pemenuhan ini, karena pemerintah
berkepentingan dalam memajukan pembangunan nasiaonal. Jika sarana belajar ini
telah terpenuhi tentunya akan semakin memudahkan transformasi ilmu pengetahuan
dan teknologi.
- Sarana non fisik
Sarana non fisik ini diibaratkan
soft ware dalam komputer, jika soft ware ini dapat mengoprasikan perangkat
komputer dengan baik maka pekerjaan akan cepat selesai. Begitu juga dalam
pendidikan jika sistem dan pengajarnya bermutu maka akan mempercepat
pembangunan nasional. Hal ini dapat dilakukan dengan cara:
- Peningkatan kualitas guru
Kualitas guru harus ditekankan demi
berjalannya pendidikan itu sendiri, tugas guru adalah merangsang kreativitas
dan memberi pengajaran secara fleksibel, artinya berkedudukan seperti siswa
yang belajar tidak ada patron client. Peningkatan mutu ini bukan hanya pada
intelektual guru saja, melainkan juga mengembangkan psikologis guru itu sendiri
misalnya dengan memahami karakteristik siswa, psikologi perkembangan dan
sebagainya.
Dengan adanya peningkatan ini
tentunnya akan berdampak pada membaiknya output pendidikan. Dikarenakan guru
dapat menempatkan dirinya sebagaimana mestinya dan bersifat fleksibel.
Kenakalan remaja biasanya terjadi justru karena prilaku guru itu sendiri
misalnya melakukan hukuman fisik kepada siswa ataupun penekanan psikologis.
- Pembentukan lembaga studi mandiri
Pembentukan lembaga studi mandiri
ini berfungsi sebagai wadah pengembangan kpribadian siswa. Di kampus UIN
misalnya jurun sosiologi belum memiliki lembaga penelitian dan lembaga diskusi
mahasiswa, adapun lembaga diskusi resminya telah lama mati karena tidak adanya
regenerasi yang baik. Jika lembaga studi ini dapat dibentuk tentunnya akan
memperbaiki kualitas fakultas maupun menambah pengalaman mahasiswa.
- 2. Reformasi Kurikulum Pendidikan
Kurikulum merupakan jiwa dari
lembaga pendidikan, jika dalam kurikulum terdapat banyak penyimpangan dan kontradiksi-kontradiksi
tentunya akan merusak citra pendidikan itu sendiri. Pengembangan kurikulum
diharuskan sesuai dengan kultur masyarakat artinya tidak begitu saja menelan
mentah-mentah teori pendidikan barat kedalam pendidikan indonesia. Negeri
jepang misalnya walaupun mempelajari bahan ajaran Barat namun mereka
menyesuaikan dengan kultur dalam masyarakat.
Dalam kurikulum ini harusnya
mengutamakan keadilan dan kesetaraan, tidak ada pengelompokan berdasarkan suku,
agama, maupun golongan-golongan. Pendidikan merupakan hak dasar bagi
masyarakat sebgaimana diamanatkan oleh UUD 1945, jadi dalam masalah biaya
tentunya negara mempunyai kewajiban dalam pendanaan pendidikan. Anggaran
Perencanaan Belanja Negara 20% untuk pendidikan harus diawasi dan direalisasikan
perwujudannya sehingga bukan hanya menjadi wacana politik saja.
- Mewujudkan pendidikan inklusif dan anti diskriminasi
Pendidikan yang saat ini masih
terlibat dengan berbagai diskriminasi dan ekskluisasi terhadap pelajar.
Sehingga kadangkala masyarakat memandang bahwa pendidikan hanyalah sebagai alat
untuk mobilitas sosial dan mempertahankan satatus quo orang-orang kaya.
Anak-anak pemilik modal lebih mendapatkan keistimewaan fasilitas dari pada
masyarakat miskin sehingga timbul pesimisme terhadap netralitas pendidikan.
Pendidikan inklusif didiasarkan pada
beberapa prinsip dasar antara lain:
Pertama, setiap orang secara inheren
punya hak terhadap pendidikan atas dasar kesamaan kesempatan sebagaimana yang
diamanatkan UU, jadi tidakada alasan sekolah untuk menolak pelajar yang miskin.
Kedua, tidak boleh ada siswa yang tereksklusi dan terdiskriminasi dalam
pendidikan dengan berbagai alasan apapun, baik dari ras, warna kulit, gender,
bahasa, agama, politik, difabelitas, dan lain sebagainya. Ketiga, semua anak pada
dasarnya dapat belajar dan mendapat manfaat dari pendidikan, sehingga
pendidikan bertugas mengembangkan potensi otak anak. Keempat, sarana dan
prasarana disediakan pemerintah dari pajak. Kelima, pandangan dan opini peserta
didik harus didengarkan dan diperhatikan (demokrasi pendidikan). Keenam,
perbadaan individu merupakan suatu anugrah, sehingga guru harus mencari
pendekatan karakteristik dan kompetensi peserta didik. Ketujuh, pendidikan
bukanlah asimilasi tetapi apresiasi perbedaan, adupun pelaksanaannya dilakukan
secara kontinyu bukannya instan.
Selain itu pendidikan juga harus
lebih mengutamakan langkah praksis dengan mencetak generasi muda yang
mandiri dan dapat mengolah sumberdaya alam serta memproduksi lapangan kerja
bukan hanya mencetak mental pekerja. Kesadaran sosial generasi muda juga perlu
ditingkatkan sebagai wujud pengabdian pendidikan terhadap masyarakat.
Mewujudkan pendidikan yang memanusiakan manusia bukanlah mimpi, jika dilakukan
secara kontinyu dan intensif.
BAB
III
KESIMPULAN
Tejadinya menyimpangan
kepribadian pelajar dari norma-norma masyarakat bukanlah murni disebabkan oleh
kesalahan pelajar atau siswa, melainkan penyimpangan ini muncul dari
permasalah multidimensional dalam diri pendidikan itu sendiri. Sehingga dapat
dikatakan penyimpangan dalam diri pelajar ataupun generasi muda, hanyalah
sebagian dampak kecil dari berbagai masalah dalam dunia pendidikan dan bukanlah
pokok penyebab atau persoalan. Sehingga dalam menganalisis pendididkan
diperlukan kesatuan global dari sistem-sistem dalam masyarakat.
Masalah pendidikan di Indonesia
bukan saja karena kualitas intelektualitas yang masih rendah, tetapi juga
diperparah dengan degradasi moral generasi muda yang masih belum bisa menyaring
perkembangan globalisasi. Tawuran antar pelajar, free sex, narkoba, dan
tindakan asusila maupun pelanggaran hukum banyak mewarnai pendidikan Indonesia,
bahkan hal ini dapat kita saksikan baik secara langsung maupun dimedia massa.
Namun semua itu bukanlah alasan bagi kita untuk cenderung menyalahkan pendidikan,
karena kita sendiri memiliki tanggung jawab yang besar dalam proses pendidikan.
Dalam memperbaiki maslah pendidikan
itu dapat dilakukan dengan cara mereformasi kurikulum yang lebih merakyat,
menyediakan sarana, prasarana, menjalankan pendidikan antri diskriminasi, dan
sebaginya. Selain itu pendidikan juga diharapkan melaksanakan tugasnya yaitu,
memperjuankan masayarakat dari penindasan dengan menanamkan sikap sadar sosial
dan membangun mentalitas kemandirian anak didik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar